Kebangkitan Nasional dan Pendidikan Politik

Senin, 21 Mei 2012

Kebangkitan Nasional dan Pendidikan Politik

20 Mei 1908 kita yakini sebagai tonggak sejarah bangsa ini dari keterpurukan yang substansial. Yaitu keterpurukan mental, di mana penjajahan dan penindasan oleh bangsa kita saat itu seolah menjadi takdir yang sudah selayaknya kita terima sebagai bagian dari eksistensi kelahiran setiap anak-anak negeri ini. Budi Utomo adalah salah satu simbol dominan atas kesadaran dan semangat yang tiba-tiba bangkit dan mengingatkan khalayak bahwa hakikat dari keberadaan manusia adalah bebas dan merdeka.

Lebih dari seratus tahun berlalu, dimana lembar demi lembar sejarah panjang kemerdekaan telah kita buka dan kita tulisi dengan tinta pemikiran, sikap dan gaya hidup kita sebagai sebuah bangsa. Naik turun para penguasa yang menghiasi roda-roda perjalanan pemerintahan Republik Indonesia, mungkin memberi kita sedikit hikmah saat membaca berbagai fenomena, bahwa kemerdekaan sebagai tujuan utama atau spirit dari kebangkitan nasional ternyata hanya sekedar awal yang masih banyak menuntut darah dan kerja kita anak-anak revolusi.

Telah seabad lebih kebangkitan bangsa ini kita peringati, namun saya rasa nilai-nilai yang terkandung di dalamnya masih tetap krusial untuk dijadikan cermin dan pemicu semangat perubahan serta kebangkitan kembali bangsa yang seolah terperosok kembali ke dunia penjajahan wajah baru yaitu neomaterialisme, neokapitalisme dan neoatheisme. Mungkin banyak diantara kita yang tidak merasakannya selain hidup menjadi semakin tak terarah, ketidakpuasan akan materi yang tak kunjung usai serta agama yang hanya menjadi simbol tanpa panghayatan. Tidak pula kita menyadari, entah kapan pastinya terjadi, tiba-tiba gaya hidup anak-anak kita telah banyak berubah menjadi sama sekali tidak kita kenal, jauh dari nilai-nilai yang tiap hari diajarkan (oleh mulut-mulut kita para orang tua, tapi mungkin belum oleh hati).

Apa yang sebenarnya terjadi pada tahun 1908 sehingga kita menyebutnya sebagai hari kebangkitan nasional? Saya coba untuk membuka lembar demi lembar catatan sejarah, mempelajari dan mengambil pemahaman. Saya melihat bahwa pada saat itu terjadi sebuah titik balik peradaban yang sebenarnya dimulai dari dunia eropa sendiri sebagai penjajah. Kacamata peradaban yang seolah awalnya melihat manusia sebagai makhluk yang berbeda-beda karena ras, agama, dan negara tiba-tiba berubah, semua adalah manusia yang satu! Perubahan paradigma ini berhembus ke seluruh penjuru dunia, terutama melalui jalur-jalur pendidikan dan intelektualisme. Di Indonesia hal itu terjadi dengan sangat jelas di Stovia yang menjadi pusat pendidikan calon dokter dan juga intelektual.

Hikmah kedua yang dapat saya petik dari bacaan mengenai peristiwa kebangkitan nasional tahun 1908 adalah mengenai pendidikan dan politik. Stovia sebagai lembaga pendidikan profesional Belanda yang juga menjadi tempat sekolah priyayi Indonesia saat itu ternyata telah menjadi rahim dari kesadaran sekelompok pemuda melebihi entitas kesukuan, keagamaan dan bahwa keprofesian mereka sendiri sebagai calon dokter. Kesadaran yang membuat tugas sebagai seorang intelektual tidak hanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan profesi dokter saja melainkan manusia secara luas. Kesadaran dasar itulah yang  membawa mereka pada sikap revolusioner. Hikmah yang kedua ini menyadarkan saya bahwa pembentukan kesadaran politik tidak dapat dilepaskan dari dunia pendidikan.

Politik dan Pendidikan


Selama ini kita kebanyakan menganggap bahwa politik dan pendidikan adalah dua hal dengan kutub yang berbeda. Politik berorientasi kepentingan sedangkan pendidikan justru mengajarkan untuk merangkul semua kepentingan sehingga menjadi seperti tanpa kepentingan. Oleh karenanya kedua hal tersebut senantiasa dipisahkan. Mungkin sebagian besar dari kita merasa takut jika politik dimasukkan dan ”mengotori” dunia pendidikan. Atau bahkan politik menjadikan pendidikan sebagai kepanjangan tangannya untuk memperluas kekuasaan. Secara salah banyak diantara kita menafsirkan konsep Paulo Freire mengenai pendidikan yang melanggengkan ketertindasan (pedagogy of the oppressed) akan terjadi pada dunia pendidikan yang dicampuradukkan dengan dunia politik.

Pendidikan merupakan wadah dimana pembentukan kultur generasi baru terjadi. Pendidikan adalah rahim dari setiap karakter yang akan dimiliki oleh anak-anak kita di masa depan. Dengan demikian secara sederhana kita dapat membangun sebuah asumsi bahwa perbaikan pada diri masyarakat secara ideal akan terjadi jika kita benar-benar memperhatikan pendidikan, termasuk dalam bidang politik. Ini sebenarnya selaras dengan prinsip kontekstual dan bermakna dalam kurikulum kita, yaitu menghadirkan kenyataan dunia kepada peserta didik.

Niat baik untuk membersihkan dunia pendidikan dari ’kotornya’ politik menurut saya justru lebih memperbesar peluang untuk membuat pihak-pihak tertentu memanfaatkan pendidikan demi kepentingan politiknya. Kita ambil contoh sederhana, pada era orde baru Pancasila sebagai falsafah negara diajarkan melalui penafsiran tunggal dengan alasan menghilangkan bias-bias politik seperti halnya yang terjadi pada orde lama. Namun justru itulah yang menjadi bumerang, karena penafsiran tunggal yang diajarkan adalah penafsiran yang dibuat oleh penguasa.

Perubahan sistem politik yang begitu terbuka dan desentralistik secara tiba-tiba membuat negeri ini seperti mengalami shock. Jika istilah pengasa dan penindas zaman orde baru adalah mereka para pemimpin di level ibukota maka saat ini penindas  dan polikus kotor telah menyebar demikian rata di seluruh pelosok  tanah air. Upaya pemberantasan KKN juga seolah menjadi lebih sulit. Bahkan bisa jadi karakter korup yang merajalela saat ini lebih parah daripada saat zaman penjajahan.

Sistem pemerintahan yang sehat dan bersih harus dimulai dari sistem politik yang juga bersih. Untuk mewujudkan ini dibutuhkan reformasi sistem politik dan hukum yang menyeluruh. Tapi apa mungkin? Dapatkan reformasi politik dilakukan oleh orang-orang yang telah terbiasa dan tercemar oleh sistem itu sendiri? Seandainya kita bisa mengharapkan perubahan terjadi pada generasi baru, maka seperti halnya reformasi yang dilakukan oleh Budi Utomo, itu seharusnya terjadi dalam dunia pendidikan, yaitu pendidikan yang juga memperhatikan pendidikan politik bagi anak-anaknya.  Saya yakin tugas ini sangat berat dan butuh waktu.  Namun dengan perbaikan di ranah politik, hukum dan pendidikan sekaligus kita masih memiliki harapan untuk munculnya kebangkitan nasional kembali. Perlu dicatat, kebangkitan nasional tahun 1908 mengalami puncak perjuangan 37 tahun berikutnya yaitu saat kemerdekaan RI 1945. Itu bukan waktu yang singkat dan perjuangan yang ringan.

Pendidikan Politik

Dalam bukunya yang sangat populer, Democracy and Education, John Dewey menuliskan: As formal teaching and training grow in extent, there is the danger of creating an undesirable split between the experience gained in more direct associations and what is acquired in school.

Dalam statemen tersebut Dewey menjelaskan bahwa salah satu kesalahan dari pengajaran yang terjadi di sekolah adalah ketika materi sekolah tidak mengarahkan para siswa untuk hidup di dunia nyata. Dan saya rasa memang demikian, keberhasilan pendidikan adalah ketika para peserta didik benar-benar belajar untuk hidupnya dan bahkan berpikir menyelesaikan permasalahan yang ada di sekelilingnya. Itulah mengapa kebangkitan nasional diawali dari dunia pendidikan yang memang memiliki potensi kekuatan pengubah masyarakat yang sangat besar.

Pendidikan politik bukan berarti mengarahkan anak-anak pada kepentingan-kepentingan politik tertentu. Pendidikan ini justru mengenalkan anak pada nilai-nilai penting politik dimulai dari kehidupan sekolah. Mereka diajarkan bagaimana sebenarnya kebebasan berpendapat dan tanggung jawab sebagai warga negara melalui contoh nyata yang dilakukan oleh para pengajar maupun dalam sistem sekolah itu sendiri.

Alber Bandura menyatakan bahwa pendidikan utamanya terjadi melalui komunikasi dan keteladanan (modelling). Denikian pula dengan pendidikan politik, bagi saya hal tersebut dapat diajarkan tanpa harus membuat mata pelajaran baru melainkan dengan dua langkah awal yaitu:

1. Membangun atmosfer komunikatif di sekolah. Demokrasi pada dasarnya adalah karakter yang mendasari setiap relasi dalam kelompok sosial dan intinya adalah komunikasi yang seimbang. Kebebasan berpendapat dalam undang-undang yang menjadi jantung dari kehidupan berdemokrasi kita  seharusnya dibentuk pada diri setiap insan di republik ini sejak dini di sekolah. Semakin tinggi tingkat sekolah, maka komunikasi yang dibangun dapat lebih bersifat riil mengenai berbagai permasalahan di masyarakat dan bagaimana seharusnya mereka bersikap.

2. Keteladanan dalam kehidupan berorganisasi. Sekolah merupakan sistem organisasi yang meliputi hubungan antara kepala sekolah, pegawai, guru hingga para siswa. Meskipun berbagai teori mengenai kehidupan berorganisasi dan bermasyarakat telah disampaikan oleh para guru, namun tanpa contoh langsung walaupun dalam sekup kecil, maka teori-teori akan menguap dan hanya sekedar membekas di catatan raport para siswa. Bagaimana seharusnya pemimpin bersikap, bagaimana kecintaan terhadap negara diwujudkan, semua itu harus juga dicontohkan.

Kesadaran politik dari suatu sistem termasuk negara diawali dari kesadaran setiap individu di dalamnya. Oleh karena itu perubahan sebagai hasil dari proses belajar seharusnya terjadi pada setiap individu yang pada akhirnya akan menggerakkan perubahan sosial yang jauh lebih besar. Bangkitnya kesadaran pada segelintir orang adalah awal dari kebangkitan nasional. Itulah makna dari 20 Mei bagi saya.

Habibi BK
Penulis adalah Dosen FKIP Universitas Wiraraja Sumenep

0 komentar:

Posting Komentar

 
FPKT Rancaekek Copyright © 2012 Update Blogger theme - All Rights Reserved

Suport Seo By 100 free auto Backlink

Designs by Hendrytha | senantiasa belajar

Author Theme by blogpressweb.com