Kebangkitan Nasional dan Pendidikan Politik
20 Mei 1908 kita yakini sebagai tonggak sejarah bangsa ini
dari keterpurukan yang substansial. Yaitu keterpurukan mental, di mana
penjajahan dan penindasan oleh bangsa kita saat itu seolah menjadi
takdir yang sudah selayaknya kita terima sebagai bagian dari eksistensi
kelahiran setiap anak-anak negeri ini. Budi Utomo adalah salah satu
simbol dominan atas kesadaran dan semangat yang tiba-tiba bangkit dan
mengingatkan khalayak bahwa hakikat dari keberadaan manusia adalah bebas
dan merdeka.
Lebih dari seratus tahun berlalu, dimana lembar
demi lembar sejarah panjang kemerdekaan telah kita buka dan kita tulisi
dengan tinta pemikiran, sikap dan gaya hidup kita sebagai sebuah bangsa.
Naik turun para penguasa yang menghiasi roda-roda perjalanan
pemerintahan Republik Indonesia, mungkin memberi kita sedikit hikmah
saat membaca berbagai fenomena, bahwa kemerdekaan sebagai tujuan utama
atau spirit dari kebangkitan nasional ternyata hanya sekedar awal yang
masih banyak menuntut darah dan kerja kita anak-anak revolusi.
Telah
seabad lebih kebangkitan bangsa ini kita peringati, namun saya rasa
nilai-nilai yang terkandung di dalamnya masih tetap krusial untuk
dijadikan cermin dan pemicu semangat perubahan serta kebangkitan kembali
bangsa yang seolah terperosok kembali ke dunia penjajahan wajah baru
yaitu neomaterialisme, neokapitalisme dan neoatheisme. Mungkin banyak
diantara kita yang tidak merasakannya selain hidup menjadi semakin tak
terarah, ketidakpuasan akan materi yang tak kunjung usai serta agama
yang hanya menjadi simbol tanpa panghayatan. Tidak pula kita menyadari,
entah kapan pastinya terjadi, tiba-tiba gaya hidup anak-anak kita telah
banyak berubah menjadi sama sekali tidak kita kenal, jauh dari
nilai-nilai yang tiap hari diajarkan (oleh mulut-mulut kita para orang
tua, tapi mungkin belum oleh hati).
Apa yang sebenarnya terjadi
pada tahun 1908 sehingga kita menyebutnya sebagai hari kebangkitan
nasional? Saya coba untuk membuka lembar demi lembar catatan sejarah,
mempelajari dan mengambil pemahaman. Saya melihat bahwa pada saat itu
terjadi sebuah titik balik peradaban yang sebenarnya dimulai dari dunia
eropa sendiri sebagai penjajah. Kacamata peradaban yang seolah awalnya
melihat manusia sebagai makhluk yang berbeda-beda karena ras, agama, dan
negara tiba-tiba berubah, semua adalah manusia yang satu! Perubahan
paradigma ini berhembus ke seluruh penjuru dunia, terutama melalui
jalur-jalur pendidikan dan intelektualisme. Di Indonesia hal itu terjadi
dengan sangat jelas di Stovia yang menjadi pusat pendidikan calon
dokter dan juga intelektual.
Hikmah kedua yang dapat saya petik
dari bacaan mengenai peristiwa kebangkitan nasional tahun 1908 adalah
mengenai pendidikan dan politik. Stovia sebagai lembaga pendidikan
profesional Belanda yang juga menjadi tempat sekolah priyayi Indonesia
saat itu ternyata telah menjadi rahim dari kesadaran sekelompok pemuda
melebihi entitas kesukuan, keagamaan dan bahwa keprofesian mereka
sendiri sebagai calon dokter. Kesadaran yang membuat tugas sebagai
seorang intelektual tidak hanya dalam bidang ilmu pengetahuan dan
profesi dokter saja melainkan manusia secara luas. Kesadaran dasar
itulah yang membawa mereka pada sikap revolusioner. Hikmah yang kedua
ini menyadarkan saya bahwa pembentukan kesadaran politik tidak dapat
dilepaskan dari dunia pendidikan.
Politik dan PendidikanSelama
ini kita kebanyakan menganggap bahwa politik dan pendidikan adalah dua
hal dengan kutub yang berbeda. Politik berorientasi kepentingan
sedangkan pendidikan justru mengajarkan untuk merangkul semua
kepentingan sehingga menjadi seperti tanpa kepentingan. Oleh karenanya
kedua hal tersebut senantiasa dipisahkan. Mungkin sebagian besar dari
kita merasa takut jika politik dimasukkan dan ”mengotori” dunia
pendidikan. Atau bahkan politik menjadikan pendidikan sebagai
kepanjangan tangannya untuk memperluas kekuasaan. Secara salah banyak
diantara kita menafsirkan konsep Paulo Freire mengenai pendidikan yang
melanggengkan ketertindasan (pedagogy of the oppressed) akan terjadi
pada dunia pendidikan yang dicampuradukkan dengan dunia politik.
Pendidikan
merupakan wadah dimana pembentukan kultur generasi baru terjadi.
Pendidikan adalah rahim dari setiap karakter yang akan dimiliki oleh
anak-anak kita di masa depan. Dengan demikian secara sederhana kita
dapat membangun sebuah asumsi bahwa perbaikan pada diri masyarakat
secara ideal akan terjadi jika kita benar-benar memperhatikan
pendidikan, termasuk dalam bidang politik. Ini sebenarnya selaras dengan
prinsip kontekstual dan bermakna dalam kurikulum kita, yaitu
menghadirkan kenyataan dunia kepada peserta didik.
Niat baik
untuk membersihkan dunia pendidikan dari ’kotornya’ politik menurut saya
justru lebih memperbesar peluang untuk membuat pihak-pihak tertentu
memanfaatkan pendidikan demi kepentingan politiknya. Kita ambil contoh
sederhana, pada era orde baru Pancasila sebagai falsafah negara
diajarkan melalui penafsiran tunggal dengan alasan menghilangkan
bias-bias politik seperti halnya yang terjadi pada orde lama. Namun
justru itulah yang menjadi bumerang, karena penafsiran tunggal yang
diajarkan adalah penafsiran yang dibuat oleh penguasa.
Perubahan
sistem politik yang begitu terbuka dan desentralistik secara tiba-tiba
membuat negeri ini seperti mengalami shock. Jika istilah pengasa dan
penindas zaman orde baru adalah mereka para pemimpin di level ibukota
maka saat ini penindas dan polikus kotor telah menyebar demikian rata
di seluruh pelosok tanah air. Upaya pemberantasan KKN juga seolah
menjadi lebih sulit. Bahkan bisa jadi karakter korup yang merajalela
saat ini lebih parah daripada saat zaman penjajahan.
Sistem
pemerintahan yang sehat dan bersih harus dimulai dari sistem politik
yang juga bersih. Untuk mewujudkan ini dibutuhkan reformasi sistem
politik dan hukum yang menyeluruh. Tapi apa mungkin? Dapatkan reformasi
politik dilakukan oleh orang-orang yang telah terbiasa dan tercemar oleh
sistem itu sendiri? Seandainya kita bisa mengharapkan perubahan terjadi
pada generasi baru, maka seperti halnya reformasi yang dilakukan oleh
Budi Utomo, itu seharusnya terjadi dalam dunia pendidikan, yaitu
pendidikan yang juga memperhatikan pendidikan politik bagi
anak-anaknya. Saya yakin tugas ini sangat berat dan butuh waktu. Namun
dengan perbaikan di ranah politik, hukum dan pendidikan sekaligus kita
masih memiliki harapan untuk munculnya kebangkitan nasional kembali.
Perlu dicatat, kebangkitan nasional tahun 1908 mengalami puncak
perjuangan 37 tahun berikutnya yaitu saat kemerdekaan RI 1945. Itu bukan
waktu yang singkat dan perjuangan yang ringan.
Pendidikan PolitikDalam bukunya yang sangat populer, Democracy and Education, John Dewey menuliskan:
As
formal teaching and training grow in extent, there is the danger of
creating an undesirable split between the experience gained in more
direct associations and what is acquired in school. Dalam
statemen tersebut Dewey menjelaskan bahwa salah satu kesalahan dari
pengajaran yang terjadi di sekolah adalah ketika materi sekolah tidak
mengarahkan para siswa untuk hidup di dunia nyata. Dan saya rasa memang
demikian, keberhasilan pendidikan adalah ketika para peserta didik
benar-benar belajar untuk hidupnya dan bahkan berpikir menyelesaikan
permasalahan yang ada di sekelilingnya. Itulah mengapa kebangkitan
nasional diawali dari dunia pendidikan yang memang memiliki potensi
kekuatan pengubah masyarakat yang sangat besar.
Pendidikan
politik bukan berarti mengarahkan anak-anak pada kepentingan-kepentingan
politik tertentu. Pendidikan ini justru mengenalkan anak pada
nilai-nilai penting politik dimulai dari kehidupan sekolah. Mereka
diajarkan bagaimana sebenarnya kebebasan berpendapat dan tanggung jawab
sebagai warga negara melalui contoh nyata yang dilakukan oleh para
pengajar maupun dalam sistem sekolah itu sendiri.
Alber Bandura
menyatakan bahwa pendidikan utamanya terjadi melalui komunikasi dan
keteladanan (modelling). Denikian pula dengan pendidikan politik, bagi
saya hal tersebut dapat diajarkan tanpa harus membuat mata pelajaran
baru melainkan dengan dua langkah awal yaitu:
1. Membangun
atmosfer komunikatif di sekolah. Demokrasi pada dasarnya adalah karakter
yang mendasari setiap relasi dalam kelompok sosial dan intinya adalah
komunikasi yang seimbang. Kebebasan berpendapat dalam undang-undang yang
menjadi jantung dari kehidupan berdemokrasi kita seharusnya dibentuk
pada diri setiap insan di republik ini sejak dini di sekolah. Semakin
tinggi tingkat sekolah, maka komunikasi yang dibangun dapat lebih
bersifat riil mengenai berbagai permasalahan di masyarakat dan bagaimana
seharusnya mereka bersikap.
2. Keteladanan dalam kehidupan
berorganisasi. Sekolah merupakan sistem organisasi yang meliputi
hubungan antara kepala sekolah, pegawai, guru hingga para siswa.
Meskipun berbagai teori mengenai kehidupan berorganisasi dan
bermasyarakat telah disampaikan oleh para guru, namun tanpa contoh
langsung walaupun dalam sekup kecil, maka teori-teori akan menguap dan
hanya sekedar membekas di catatan raport para siswa. Bagaimana
seharusnya pemimpin bersikap, bagaimana kecintaan terhadap negara
diwujudkan, semua itu harus juga dicontohkan.
Kesadaran politik
dari suatu sistem termasuk negara diawali dari kesadaran setiap individu
di dalamnya. Oleh karena itu perubahan sebagai hasil dari proses
belajar seharusnya terjadi pada setiap individu yang pada akhirnya akan
menggerakkan perubahan sosial yang jauh lebih besar. Bangkitnya
kesadaran pada segelintir orang adalah awal dari kebangkitan nasional.
Itulah makna dari 20 Mei bagi saya.
Habibi BK
Penulis adalah Dosen FKIP Universitas Wiraraja Sumenep